Beliau; Habib Naufal bin Muhammad al ‘Aydrus ~ الحبيب نوفل ابن محمّد العيدروس - akrab dipanggil Habib Novel atau Habib Noval - adalah putra pertama pasangan Muhammad al ‘Aydrus dengan Luluk al Habsyi. Ia merupakan alumnus SD dan SMP di Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro Solo. Lulusan SMAN 2 Solo itu kemudian melanjutkan ke Pesantren Darul Lughah wad Dakwah yang terletak di Desa Raci, Pasuruan, Jatim.
“Saya sebenarnya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Saya tidak mendapatkan izin Ibu. Beliau tidak ingin saya pergi jauh darinya. Akhirnya saya berangkat ke Pesantren Darul Lughah wad Dakwah. Pesantren tersebut diasuh oleh almarhum Ustad Hasan Baharun,” terang suami Fatimah Qonita itu.
Ayahanda Ahmad Anis, Nur’aliyah dan ‘Ali ‘Abdul Qadir tersebut mengatakan ibunya hanya mengizinkan dirinya belajar di pesantren tersebut selama enam bulan. Ditambah masa percobaan satu bulan, akhirnya Habib Novel menjadi santri selama 7 bulan.
Sulung dari tiga bersaudara itu sama sekali belum mengenal kehidupan pesantren dan bahasa Arab. Habib Novel pun berusaha untuk mempelajari bahasa Arab dengan sebaik-baiknya. Sebab, almarhum kakeknya, Habib Ahmad bin Abdurrahman al ‘Aydrus yang tinggal di Kudus, pernah berkata, ”Jika kamu mampu menguasai bahasa Arab, maka kamu telah menguasai setengah ilmu.”
“Setiap hari saya paksakan diri saya untuk menghapalkan kurang lebih 90 kata kerja. Di atas tempat tidur, kamus kata kerja hampir tidak pernah berpisah dengan diri saya. Alhamdulillah, dalam waktu dua bulan saya sudah dapat bercakap-cakap dengan bahasa Arab,” jelasnya.
Sepulang dari Pesantren Darul Lughah wad Dakwah, Habib Novel kembali melanjutkan kebiasaannya semasa di Solo yaitu senang pergi ke Masjid Riyadh. Sejak kelas 2 SD dia telah akrab dengan Masjid Riyadh. Dahulu, setiap hari, menjelang maghrib, Habib Novel biasa berjalan kaki menuju Masjid Riyadh untuk Salat Maghrib, mengikuti tadarus al Quran, pembacaan Ratib dan Salat Isya berjamaah. Hal itu dilakukannya bertahun-tahun hingga sebelum ke pesantren. Dia mengaku pembacaan Maulid Simtud Durar setiap malam Jumat adalah ruhnya. Begitu kembali di Solo, Habib Novel segera mengikuti pengajian umum yang diselenggarakan Habib Anis. Setiap hari sejak 1995 hingga beliau wafat dia belajar di sana.
“Habib Anis menyebut saya sebagai muridnya. Bagi saya itu menjadi sebuah kebahagiaan,” tambahnya.
Penulis buku Mana Dalilnya itu merasakan manfaat besar dari mengikuti majelis di Masjid Riyadh. Kini, Habib Novel menjadi penceramah, penterjemah dan penulis. Semua itu tidak terlepas dari peran Habib Anis.
Habib Novel bersyukur Allah memperkenankannya menyampaikan ilmu Nabi Muhammad. Dia berdakwah dari satu masjid ke masjid yang lain, dari satu kantor ke kantor yang lain dan dari satu rumah ke rumah yang lain.
Ke depan Habib Novel ingin ada Aswaja Call Center sebagai tempat bertanya bagi masyarakat tentang berbagai persoalan. Sehingga orang tidak bingung ketika memiliki permasalahan tentang agama. Untuk mendukung itu, perlu ustad yang kompeten dan referensi. Selain itu, jika ada operator nakal supaya segera ditindak.
Keinginan Habib Novel lainnya yaitu adanya sebuah masjid di Jl Slamet Riyadi. Dia sudah menyampaikan kepada Walikota dan tokoh-tokoh sderta orang-orang yang punya uang agar ada masjid di Jl. Slamet Riyadi. “Sungguh sangat disayangkan, di Solo, umat Islam adalah terbesar jumlahnya. Tapi di sepanjang jalan protokol di perkotaan tidak ada masjid. Yang ada masjid sekolahan. Masjid Agung memang sudah ada tapi aksesnya sulit dan keindahannya ditutupi banyak bangunan,” papar lelaki yang pernah menjajakan susu sapi segar dari satu tempat ke tempat lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar