Halaman

Jumat, 14 Juni 2013

kisah hijrah nabi Muhammad SAW

Hijrah adalah sunnatullah dalam kehidupan para nabi dan rasul, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, mereka melakukannya. Dengan ber­­hijrah, mereka bisa menegakkan agama Allah. Dengan berhijrah, para pengikut setia mereka dapat keluar dan bebas mer­deka dari sistem Jahiliyah dan penin­dasan yang dilakukan para penguasa zhalim terhadap mereka.
Sebab itu, Allah jadikan hijrah itu salah satu pilar utama penegakan Islam. Di samping itu, dengan hijrah seorang mukmin mendapat perlindung­an dari saudara-saudaranya yang lain. Allah berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 72 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhij­rah serta berjihad dengan harta dan jiwa­nya pada jalan Allah dan orang-orang yang mem­berikan tempat ke­diam­an dan pertolong­an (kepada orang-orang muhajirin), me­reka itu lindung-melindungi. Dan (terha­dap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka sebe­lum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan ke­pada­mu dalam (urusan pembelaan) aga­ma, kamu wajib memberikan pertolong­an, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Bagian Bumi yang paling Baik
Sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beberapa kalangan di antara penduduk Madinah telah memeluk Islam. Berita ini pun sampai ke Makkah. Tersebarnya kabar tentang masuk Islam­nya sekelompok penduduk Madi­nah mem­buat orang-orang kafir Quraisy se­ma­kin meningkatkan tekanan ter­hadap orang-orang mukmin di Makkah.
Dalam upaya menyelamatkan dak­wah Islam dari gangguan kafir Quraisy, Rasulullah SAW, atas perintah Allah, bersegera hijrah dari Makkah ke Madi­nah. Namun sebelumnya Nabi SAW me­merintahkan kaum mukminin agar hijrah terlebih dahulu ke Madinah. Para saha­bat segera berangkat secara diam-diam agar tidak dihadang oleh musuh.
Menjelang Rasulullah SAW hijrah, kaum kafir Quraisy telah merencanakan upaya jahat untuk membunuh beliau. Ketika saatnya tiba, sebagaimana di­tuturkan oleh Muhammad Husain Haikal dalam Hayat Muhammad, pe­muda-pe­muda yang sudah disiapkan kaum Quraisy untuk membunuh Ra­sulullah di malam itu sudah mengepung rumah be­liau. Pada saat bersamaan, Rasulullah menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk mema­kai jubahnya yang ber­warna hijau dan tidur di kasur beliau. Nabi SAW meminta Ali supaya ia tinggal dulu di Makkah un­tuk menyelesaikan berbagai keperluan dan amanah umat sebelum melaksana­kan hijrah.
Para pemuda yang sudah disiapkan Quraisy, dari sebuah celah, mengintip ke tempat tidur Nabi SAW. Mereka me­lihat ada sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mereka pun puas bahwa orang yang mereka incar belum lari. (masyaAlloh)
Menjelang larut malam, Rasulullah keluar rumah menuju kediaman Abu Ba­kar Ashshiddiq. Beliau keluar melalui jendela pintu belakang dan terus bertolak ke arah se­latan, ke arah Yaman, menuju Gua Tsur.
Untuk mengelabui para pemuda Quraisy yang telah menutup semua jalur menuju Madinah, Rasulullah me­mutus­kan menempuh jalan lain, rute yang ber­beda, dari jalur yang biasa di­gunakan pen­duduk Makkah untuk me­nuju Madi­nah. Beliau juga memutuskan akan berang­kat bukan pada waktu yang biasa.
Para pemuda Quraisy yang beren­cana akan menyergap Nabi SAW pun ke­mudian memasuki rumah beliau. Na­mun alangkah terkejutnya mereka, ka­rena ternyata beliau sudah tidak ada di tempat. Mereka hanya mendapati Ali sedang tidur di kasur beliau.
Di sinilah, sebagaimana dipaparkan Muham­mad Husain Haikal, dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh ba­haya, demi kebenaran, keyakinan, dan ke­iman­an.
Yang ditempuh Rasulullah setelah keluar dari rumah beliau adalah Gua Tsur, yang berjarak sekitar enam hingga tujuh kilometer di selatan Makkah. Se­dangkan Madinah berada di sebelah utara Makkah. Langkah ini diambil untuk mengelabui kafir Quraisy.
Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar, yang menemani beliau, tinggal selama kurang lebih tiga hari.
Sebelum melangkahkan kaki, Ra­sulullah menatap kota Makkah dari ke­jauhan. Dengan berlinang air mata, be­liau berucap, “Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata tidak diusir, aku tak akan meninggalkanmu, wahai Makkah.”
“Janganlah Engkau Bersedih Hati…”
Gua yang sempit dan jarang dising­gahi manusia itu dipilih untuk satu tujuan yang tidak diketahui siapa pun kecuali Nabi, Abu Bakar, sahabat yang kelak menjadi mertua beliau, dan ada empat orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Abdullah dan Asma (keduanya putra-putri Abu Bakar), serta pembantu Abu Bakar, Amir bin Fuhairah.
Keempat orang itu mendapat tugas yang sangat strategis bagi kesuksesan perjalanan yang amat bersejarah ter­sebut.
Ali berdiam di rumah Rasul SAW untuk mengelabui kaum musyrikin. Ab­dullah ditugasi untuk memantau per­kem­­bangan berita di kalangan orang-orang kafir Makkah lalu menyampai­kannya kepada Rasul pada malam hari­nya ke tempat persembunyian. Asma setiap sore membawa makanan buat Rasul dan ayahnya. Amir bin Fuhairah ditugasi menggembalakan kambing Abu Bakar, memerah susu, dan me­nyiap­kan daging. Apabila Abdullah bin Abu Bakar kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejak.
Sementara itu pihak Quraisy beru­saha keras mencari jejak Rasul SAW dan Abu Bakar. Pemuda-pemuda Qu­raisy dengan wajah beringas membawa senjata tajam, mondar-mandir mencari ke segenap penjuru.
Ketika bergerak menuju Gua Tsur, mereka menyambangi bibir gua itu.
Sang pemimpin hendak menerobos masuk, tapi kemudian tidak jadi.
“Kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya anak buahnya.
“Setelah aku amati, tampaknya gua ini tak mungkin dijadikan persem­bunyi­an. Di dalamnya ada sarang laba-laba dan sarang burung liar hutan. Akal se­hatku mengatakan, tidak mungkin ada orang yang masuk ke dalamnya, bah­kan tak ada bukti yang menunjukkan jejak orang yang kita cari,” katanya.
Sedangkan di dalam gua, Abu Bakar merasa khawatir. Apalagi men­de­ngar derap langkah orang-orang itu. Ia ber­kata kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, andai salah seorang di antara mereka menemu­kan kita, habislah kita. Jika aku mati, apalah diriku. Tapi jika dirimu yang mati, tamatlah riwayat dakwahmu. Bagaimana jadinya?”
Beliau menjawab dengan balik ber­tanya, “Apa yang ada di benakmu jika ber­duanya kita di sini juga ada Allah, yang ketiga di antara kita?”
Maka turunlah firman Allah yang artinya, “Kalau kamu tidak menolong­nya, sesungguhnya Allah telah meno­long­nya, (yaitu) tatkala orang-orang kafir mengu­sirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang itu, ketika ke­duanya berada dalam gua. Waktu dia berkata kepada teman­nya, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah me­nu­run­kan ketenangan kepada­nya dan dikuatkan-Nya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadi­kan seruan orang-orang kafir itu rendah, sedangkan kalimah Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana.” — QS At-Tawbah (9): 40.
Padang Pasir nan Gersang
Setelah meyakini bahwa apa yang dicari tampaknya tidak membuahkan ha­sil, gerombolan musyrikin ini mening­gal­kan gua tersebut.
Tiga hari tiga malam Rasulullah SAW bersama Abu Bakar di dalam gua yang senyap dan gelap itu.
Pada hari ketiga, ketika keadaan su­dah tenang, unta untuk kedua insan yang saling mencintai ini didatangkan oleh Amir bin Fuhairah. Asma pun da­tang menyiapkan makanan.
Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya diguna­kan untuk menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehing­ga ia lalu diberi nama Dzat an-Nithaqain (Yang Memiliki Dua Sabuk).
Setelah tiga malam berada di gua, pada malan Senin tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun pertama Hijriyyah, atau pada tanggal 16 September 622 M, Ra­sulullah SAW, Abu Bakar RA, Amir bin Fuhairah, beserta seorang penunjuk ja­lan yang bernama Abdullah bin Uraiqith, keluar dari gua, berangkat menuju Madi­nah. Rasulullah SAW duduk di atas unta, yang dalam kitab tarikh disebut dengan nama “Al-Qushwa”.
Menjelang siang, Rasulullah SAW dan Abu Bakar berangkat meninggal­kan Gua Tsur.
Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, mereka mengambil rute jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Dengan ditemani Amir bin Fuhairah dan mengupah seorang Badwi dari Banu Du’il, Abdullah bin ‘Uraiqith, sebagai penunjuk jalan, me­reka berempat menuju selatan Lembah Makkah, kemudian menuju Tihamah di dekat pantai Laut Merah. Sepanjang malam dan siang, mereka menempuh perjalanan yang amat berat.
Selama tujuh hari Rasulullah SAW ber­sama Abu Bakar, Amir, dan penun­juk jalannya menyusuri padang pasir nan luas dan gersang. Mereka beristi­rahat di siang hari karena panas yang mem­bara dan kembali melanjutkan perjalan­an sepanjang malam, meng­arungi pa­dang pasir dengan udara dingin yang menusuk tulang. Hanya iman kepada Allah-lah yang membuat Rasulullah dan sahabat­nya berteguh hati dan merasa­kan damai yang me­nye­limuti.
Sambutan Penuh Suka Cita
Pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun ke-14 dari nubuwwah atau tahun pertama dari hijrah, bertepatan de­ngan tanggal 23 September 622 M, Ra­sulullah dan rombongan tiba di Quba dengan sambutan yang luar biasa oleh kaum muslimin yang ada di sana. Ke­mudian berjalan hingga berhenti di Bani Amr bin Auf. Abu Bakar berdiri, semen­tara Rasulullah duduk sambil diam. Orang-orang Anshar yang belum per­nah me­lihat dan bertemu Rasulullah mengira bah­wa yang berdiri itulah Rasulullah, padahal itu Abu Bakar.
Tatkala panas matahari mengenai Rasulullah, Abu Bakar segera mema­yungi beliau dengan jubahnya. Saat itu­lah mereka baru tahu bahwa yang duduk dan diam itulah Rasulullah SAW.
Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilo­meter dari Quba, beliau bersama umat Islam lainnya melaksanakan shalat Jum’at. Shalat Jum’at dilaksana­kan di tem­pat Bani Salim bin Auf. Untuk mem­peringati peristiwa itu, dibangunlah mas­jid di lokasi ini dengan nama “Masjid Jum’at”.
Pada hari Jum’at itu pula beliau me­lanjutkan perjalanan menuju Madinah.
Berita tentang hijrahnya Nabi SAW yang akan menyusul kaum muslimin Makkah yang telah tiba sebelumnya su­dah tersiar di Yatsrib (Madinah). Pen­duduk kota ini sangat mafhum, betapa penderitaan akibat kekerasan kafir Qu­raisy telah banyak menimpa Nabi SAW. Oleh karena itu kaum muslimin menanti­kan penuh harap kedatangan Rasulullah dengan hati yang khawatir tapi sekaligus berbunga-bunga ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya.
Banyak di antara mereka yang belum pernah melihat Nabi, meskipun sudah mendengar ihwalnya dan me­nge­tahui pe­sona bahasanya serta keteguhan pen­diriannya. Semua itu membuat me­reka rindu sekali ingin bertemu.
Akhirnya, Rasulullah tiba dengan selamat di kota Madinah pada hari Jum’at, 12 Rabi’ul Awwal, tahun 13 Ke­nabian/12 atau 13 September 622 M. Sambutan penuh suka cita diiringi isak tangis penuh haru dan kerinduan me­nyeruak di langit Madinah. Syair pun ber­kumandang:
Thola‘al badru ‘alayna
Min Tsaniyyatil Wada’
Wajabasy syukru ‘alayna
Ma da‘a lillahi da‘
Ayyuhal mab‘utsu fina
Ji’ta bil amril mutha’
Telah nampak bulan purnama
Dari Tsaniyyah Al-Wada’
Wajiblah kami bersyukur
Atas masih adanya penyeru kepada Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau membawa sesuatu yang patut kami taati
Thola'al Badru 'AlainaAbu Ayyub segera menyokong Nabi. Ia pun tampil menjadi peno­longnya. De­ngan penuh suka cita, ia telah memper­siapkan bangunan rumah bagi Nabi. “Terserah olehmu, wahai kekasih Allah… bagian mana saja ingin engkau tinggali, kami sangat bahagia bersamamu,” kata Abu Ayyub.
Di rumah pemberian Abu Ayyub-lah Nabi SAW memilih untuk tinggal ber­sama istrinya, Saudah binti Zamah, dan kedua putrinya, Fathimah dan Ummu Kultsum.
Hari itu jatuh pada hari Jum’at, se­hingga beliau bersegera untuk melak­sana­kan ibadah Jum’at yang pertama kali diselenggarakan di Madinah.
Empat hari sebelumnya, sebelum tiba di Madinah, di Lembah Wadi Ra­nunah, Baqi,  tempat penjemuran kurma milik dua orang anak yatim dari Banu Najjar, unta Nabi SAW menghentikan lang­kahnya. Nabi SAW turun dari unta­nya dan bertanya, “Kepunyaan siapa tempat ini?”
“Kepunyaan Sahl dan Suhail bin ‘Amr, wahai Rasulullah,” jawab Ma’adh bin ‘Afra, wali kedua anak yatim itu.
Kedua anak yatim itu berharap kepada Nabi Muhammad SAW agar di lahan milik mereka didirikan masjid. Nabi menyetujuinya, dan itulah masjid yang pertama kali berdiri dalam per­jalanan hijrah yang amat berkesan.
Sebelum tibanya Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA, rombongan pertama Muhajirin telah lebih dulu sampai di Yatsrib beberapa hari sebelumnya.
Aisyah RA meriwayatkan, permu­suhan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin bertambah berat di Makkah. Me­reka datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW meminta izin berhijrah. Pengaduan itu dijawab oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, “Sesungguh­nya aku telah diberi tahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang siapa ingin hijrah, hendaklah ia menuju Yatsrib.”
Para sahabat pun bersiap-siap, me­ngemas semua keperluan perjalanan. Bahkan sebahagian besar tidak mem­pe­­dulikan lagi harta benda milik me­reka. Mereka ingin segera melaksana­kan pe­rintah Rasul itu.
Mereka berangkat secara sem­bunyi-sembunyi.
Sahabat yang pertama kali sampai di Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rab‘ah ber­sama istrinya, Laila binti Abi Hasymah.
Setelah itu para sahabat Rasulullah SAW datang secara bergelombang. Me­reka tiba di rumah-rumah kaum An­shar dan mendapatkan tempat perlin­dungan.
Tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah SAW yang berani hijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin Al-Khaththab RA.
Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan, ketika Umar hendak berhijrah, ia mem­bawa pedang, busur, panah, dan tongkat yang diselempangkan di bahu­nya yang kokoh. Saat meninggalkan ru­mahnya, ia me­nuju Ka’bah. Sambil di­saksikan bebe­rapa orang tokoh Qu­raisy, Umar melaku­kan thawaf tujuh kali dengan tenang.
Setelah thawaf ia menuju Maqam Ibrahim dan mengerjakan shalat.
Seusai shalat, ia berdiri seraya ber­kata, “Semoga celakalah wajah-wajah kalian! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah!
Barang siapa ingin ibunya kehilang­an anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hen­daklah ia menghadangku di balik lembah ini.”
Tidak seorang pun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberi tahu Umar dan dilin­dungi perjalanannya.
Kemudian Umar berjalan dengan gagah berani dan santai.
Demikianlah, secara berangsur-angsur kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang tertinggal di Makkah, kecuali Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Ali RA, orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit, dan orang-orang yang belum mampu keluar meninggalkan Makkah, termasuk ayah dan beberapa orang anak Abu Bakar RA.
Kisah Keteladanan
Saat hijrah berlangsung, banyak pe­ristiwa dan kejadian penting yang patut menjadi teladan umat Islam.
Di antaranya kisah Suraqah bin Malik bin Ja’syam. Ia bermaksud menangkap Rasulullah SAW dan Abu Bakar, lalu menyerahkannya kepada Quraisy, ka­rena tergiur dengan iming-iming yang diberikan bila dapat me­nang­kap Rasul SAW.
Namun, belum sempat mendekati Rasul, kudanya terperosok dan ia pun ter­jungkal. Hal itu berulang-ulang terjadi hingga akhirnya ia memohon maaf dan mengaku terus terang perbuatannya untuk menangkap Rasulullah SAW ka­rena tergoda oleh imbalan besar yang di­janjikan orang-orang kafir Quraisy.
Rasulullah kemudian memaafkan­nya. Inilah kebesaran jiwa Nabi, yang mes­ti diteladani umat. Walaupun sese­orang sudah bersalah, kalau ia meminta maaf, kita wajib memaafkannya.
Perjalanan hijrah para sahabat pun banyak yang dapat diambil hikmahnya. Mereka berbondong-bondong berhijrah ke Madinah meninggalkan harta, ne­geri, dan keluarga besar mereka. Me­reka bersabar dengan semua kesulitan dan rintangan yang ada di perjalanan mereka ke Madinah. Para muhajirin ini ada yang berkelompok, seperti hijrah­nya Umar bin Al-Khaththab Radhiyal­lahu ‘Anhu de­ngan ‘Ayyasy dan Ummu Sala­mah Ra­dhiyallahu ‘Anha bersama anak dan pendampingnya, dan ada yang berhijrah seorang diri, seperti hij­rahnya Shuhaib Ar-Rumi Radhiyallahu ‘Anhu.
Ketika ia berangkat hijrah, kaum kuffar Quraisy menghalanginya di te­ngah jalan. Mereka berkata kepada Shuhaib Ar-Rumi, “Engkau datang ke­pada kami dalam keadaan miskin. Ke­mudian harta­mu bertambah banyak ke­tika bersama kami. Sekarang engkau ingin pergi dengan membawa hartamu. Demi Allah, itu tidak akan bisa terjadi!”
Mendengar teguran ini, Shuhaib mengajukan penawaran, “Bagaimana pendapat kalian jika aku memberikan seluruh hartaku kepada kalian? Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Kisah ini terdengar oleh Rasulullah SAW, kemudian beliau bersabda, “Shu­haib telah mendapatkan keberuntung­an.”
Dalam riwayat lain disebutkan dari Shuhaib bahwa ia berkata kepada orang-orang kafir Quraisy ketika me­reka menyusul dirinya, “Maukah kalian aku beri beberapa uqiyah emas lalu kalian membiarkan aku pergi?”
Mereka pun setuju.
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Galilah di depan pintu (rumah)-ku. Di bawahnya terdapat beberapa uqiyah  emas.’
Lalu aku pergi dan bisa menyusul Rasulullah di Quba sebelum beliau pergi meninggalkannya.
Ketika melihatku, beliau bersabda, ‘Wahai Abu Yahya, perniagaan yang menguntungkan.’ Kemudian beliau mem­baca ayat ini (yang artinya, Dan di antara manusia ada orang yang mengor­bankan dirinya karena mencari keridha­an Allah, dan Allah Maha Penyantun ke­pada hamba-hamba-Nya).” — QS Al-Baqarah (2) 207.
Dalam riwayat lainnya ia berkata kepada orang Quraisy, “Sesungguhnya aku sudah tua dan aku memiliki harta dan perhiasan yang banyak. Tidak ada mudharat bagi kalian seandainya aku ikut kalian atau ikut musuh kalian. Aku serahkan semua harta dan perhiasanku dan aku beli agamaku dari kalian de­ngan itu semua.”
Akhirnya orang-orang Quraisy se­tuju dan membiarkan jalannya menuju Ma­dinah. Maka berangkatlah kembali Shuhaib Ar-Rumi menuju Madinah, lalu turunlah ayat di atas.
Imam Al-Alusi dalam kitab Ruh Al-Ma‘ani (2/97) menjelaskan kisah ini dengan mengatakan, “Shuhaib ketika berangkat berhijrah dikejar beberapa tokoh musyrikin, lalu ia turun dari ken­daraannya dan mengeluarkan isi tem­pat panahnya serta menyiapkan busur­nya. Kemudian ia berkata, ‘Wahai kaum Quraisy, sungguh aku seorang ahli me­manah. Sungguh, demi Allah, tidaklah kalian mampu menyentuhku hingga aku habiskan isi tempat anak panahku ini dan aku tebas dengan pedangku se­lama tidak lepas pedang tersebut di tanganku. Setelah itu barulah kalian bisa berbuat sesuka kalian.’
Lalu mereka menjawab, ‘Serahkan­lah kepada kami isi rumah dan hartamu di Makkah  dan kami akan membiarkan kamu pergi.’
Kemudian orang-orang musyrik itu mem­buat perjanjian bahwa, bila ia me­nyerahkan kepada mereka, mereka akan membiarkannya pergi, maka ia pun menyetujuinya.
Maka Rasulullah pun bersabda, “Jual-beli yang menguntungkan, jual-beli yang menguntungkan.”
Lihatlah bagaimana komitmen ter­ha­dap Islam mengalahkan keinginan untuk memiliki semua harta, sehingga ia serah­kan seluruh harta bendanya agar dapat berhijrah ke kota Madinah. Ia serahkan seluruh harta bendanya bu­kan karena takut menghadapi orang-orang Quraisy, namun karena ingin berhijrah ke kota Ma­dinah dengan tanpa masalah. Per­juang­an yang patut dicontoh dan di­teladani.
***
Awal penindasan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin terjadi pada pertengahan atau akhir-akhir tahun keempat kenabian. Saat itu Az-Zahro telah mencapai usia delapan setengah tahun atau hampir mencapai sembilan tahun. Kemudian penindasan itu mencapai puncaknya pada per­tengah­an tahun kelima.
Ujian ini membuat kaum muslimin ber­pikir mencari cara yang dapat menye­lamatkan mereka dari siksaan yang pedih itu. Dalam kondisi tersebut tu­runlah Surat Az-Zumar, yang di dalam­nya terkandung isyarat yang agak jelas untuk melakukan hijrah. Allah SWT ber­firman yang artinya, ”Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, ber­taqwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” — QS Az-Zumar (39): 10.
Rasulullah SAW mengetahui bahwa Ashhimmah An-Najasyi, raja Habasyah, adalah seorang raja yang adil dan tidak mau menzhalimi seorang pun. Maka be­liau memerintahkan kaum muslimin agar hijrah ke Habasyah.
Pada bulan Rajab tahun kelima ke­nabi­an, hijrahlah kelompok pertama dari para sahabat menuju Habasyah. Mereka terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang perempuan. Pemimpinnya Utsman bin Affan, yang hijrah bersama istri­­nya, Sayyidah Ruqayyah, putri Ra­sul­ullah SAW. Nabi SAW mengatakan ihwal mereka berdua, “Sesungguhnya mereka adalah keluarga pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth.”
Fathimah berpisah dengan kakak pe­rempuannya, Ruqayyah. Dalam perpi­sah­an tentu terdapat kekhawatiran, tetapi hal itu menjadi sesuatu yang remeh di ja­lan menegakkan agama Allah. Bahkan, se­gala sesuatu menjadi remeh. Anak men­jadi remeh, dan harta pun menjadi re­meh. Tanah air juga menjadi remeh di jalan meninggikan agama dan kalimat yang haq. Ruqayyah pergi hijrah meski­pun ia putri Rasulullah SAW. Ia bahkan ter­masuk orang yang pertama hijrah un­tuk membuka pintu hijrah bagi kaum mukminin yang lain. Dalam hal ini tidak ada beda antara putra-putri Rasulullah dan kaum muk­minin semuanya, karena Islam bukanlah agama diskriminatif.
Fathimah menghapus air mata yang keluar karena perpisahan dengan sau­dara perempuannya. Pada kedua bibir­nya tersungging senyuman, karena sau­dara itu akan mendapatkan ganjaran yang besar dari Allah SWT.
Setelah perpisahan ia pergi menjum­pai ibunya agar ibunya, Sayyidah Khadi­jah, melihat air mata di kedua matanya dan senyuman di bibirnya.
Hijrah yang diberkahi dan pertama kali menuju Habasyah itu dapat berlang­sung dengan selamat.
Fathimah dan ayahnya kemudian me­rasa rindu untuk mendengar berita-berita tentang Ruqayyah, dan Allah mengabul­kan keinginan  kedua hati itu.
Kemudian datang seorang perem­puan dari kalangan Quraisy yang menga­takan, “Wahai Muhammad, sung­guh aku me­lihat menantumu bersama dengan istri­nya di atas keledai yang ditung­gangi­nya.”
Maka Rasulullah SAW mengatakan, “Semoga Allah menyertai keduanya. Se­sungguhnya Utsman adalah orang per­tama yang hijrah dengan keluarganya setelah Nabi Luth AS.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya mereka ber­dua adalah orang pertama yang hijrah ke jalan Allah setelah Nabi Luth.”
Ruqayyah tidak kurang kerinduan­nya dibandingkan ayahnya, ibunya, dan sau­dara-saudara perempuannya. Bah­kan, mungkin ia termasuk yang paling meng­inginkan kembali ke Makkah di antara mereka yang hijrah itu. Dan mungkin itu karena ia belum pernah ke­hilangan kedua orangtuanya dan saudara-saudara pe­rem­puannya sebelum itu sebagaimana ia kehilangan mereka saat itu. Kejadian-kejadian berat yang dialaminya terutama ke­tika ia keguguran pada kandungannya yang pertama, yang sangat mempenga­ruhi kesehatan­nya, sehingga orang kha­watir ia akan menjadi terlalu lemah dan letih.
Tetapi ia mendapatkan perhatian suami­nya dan kecintaannya, juga kasih sayang dan perhatian dari orang-orang yang hijrah, yang semua itu membantu­nya untuk mengatasi krisis yang berat, sehingga ia kembali pulih. Lebih-lebih dengan datangnya berita-berita dari Makkah bahwa kaum Quraisy telah putus asa untuk mengganggu Rasulullah dan para sahabatnya, sehingga pemboi­kot­an yang sangat keras yang mereka timpakan kepada Bani Hasyim akhirnya dihentikan.
Semuanya Bersujud
Akar dari berita yang tersebar itu adalah, suatu ketika, Rasulullah keluar di bulan Ramadhan pada tahun itu me­nuju Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram dipenuhi oleh sekumpulan orang Quraisy yang banyak jumlahnya. Di antaranya ter­dapat para pemuka dan pembesarnya. Lalu Rasulullah berdiri di tengah-tengah kum­pulan ini. Kaki Fathimah tidak beran­jak dari tempatnya menyaksikan kebe­ranian ayahnya ber­ada di tengah-tengah sekumpulan besar para musuhnya. Tiba-tiba Fathimah mendengar suara beliau yang keras ketika membaca surah An-Najm. Orang-orang kafir itu sebelumnya tidak pernah mendengar kalam Allah, karena cara mereka yang turun-temurun adalah mengamalkan apa yang dipesan­kan oleh sebagian mereka kepada se­bagian yang lain.
Di antara ucapan mereka adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya, ”Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kalian dapat mengalahkan (mereka).” — QS Fush­shilat (41): 26.
Ketika Rasulullah mendatangi me­reka secara tiba-tiba dengan membaca surah ini dan mengetuk telinga mereka de­ngan kalam Ilahi yang memukau, me­reka merasa bingung dengan apa yang mereka alami. Maka masing-masing  mereka mendengarkannya dengan baik. Tidak terpikir di benak mereka saat itu sesuatu selainnya, sampai ketika beliau membaca akhir surah ini seolah-olah hati mereka menjadi terbang. Kemudian beliau membaca ayat yang artinya, ”Maka bersujudlah kalian kepada Allah dan sembahlah (Dia).”
Setelah itu beliau sujud, dan tak ada se­orang pun yang dapat menguasai diri­nya sehingga semuanya bersujud.
Fathimah heran menyaksikan hal itu. Sungguh itu suatu pemandangan yang indah yang ia saksikan. Para pemimpin kekafiran dan pembesar-pembesarnya menjadi bingung berhadapan dengan indahnya kebenaran. Penentangan yang ada di dalam hati mereka yang sombong dan suka mengejek itu pun sirna seke­tika. Mereka tidak bisa menahan diri untuk bersujud kepada Allah. Tiba-tiba diri me­reka menjadi kosong dan dingin ketika ter­sentuh oleh arus keyakinan yang tim­bul dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia.
Kejadian ini merupakan petunjuk bagi setiap muslim bahwa sesungguh­nya ke­kuatan keburukan itu, betapa pun sewe­nang-wenangnya ia dan betapa pun ber­kuasanya ia, tak akan dapat melawan ka­limat-kalimat yang mengan­dung cahaya, dan tiang-tiangnya akan hancur apabila tersentuh oleh rahasia yang tersembunyi dalam kalimat-kalimat Allah ini.
Berita-berita tentang kejadian ini sam­pai pula kepada orang-orang yang hijrah ke Habasyah, tetapi beritanya sama sekali berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Berita yang sampai kepada mereka adalah bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Maka kembalilah me­reka ke Makkah pada bulan Syawwal tahun itu juga.
Ketika mereka telah berada di dekat Makkah di suatu siang dan mereka mengetahui masalah yang sebenarnya, mereka pun kembali ke Habasyah. Tidak ada yang masuk ke Makkah di antara me­reka kecuali secara sembunyi-sembunyi atau dalam perlindungan seorang musy­rik Quraisy, seperti Al-Walid bin Al-Mughi­rah dan Abu Thalib bin Abdul Muththalib.
Ruqayyah dan suaminya juga kem­bali.
Ketika sampai ke perkampungan Makkah, ia segera menuju ke rumah ayah­nya, karena sangat rindunya. Ke­mudian kedua saudaranya, Ummu Kultsum dan Fathimah, segera mene­mui­­nya. Mereka memeluknya dan me­ngalir air mata di pelupuk mereka karena per­pisahan yang singkat namun lama. Wa­laupun singkat dalam masanya, lama dalam kerinduan dan penderitaannya.
Setelah itu tampak hakikat yang se­benarnya bahwa kaum Quraisy tetap ber­­ada dalam kekufurannya, penentang­an­nya, dan gangguannya. Lalu orang-orang yang hijrah pun kembali ke Ha­basyah.
Ruqayyah kembali bersama suami­nya, Utsman bin Affan, untuk hijrah kedua kalinya.
Kaum Quraisy melihat bahwa ada bahaya yang mungkin tersembunyi pada mereka yang hijrah ini. Mereka khawatir daerah Islam meluas ke luar Makkah dan kemudian kaum muslimin yang ada di Makkah mendapatkan orang-orang yang menolong mereka dan membantu mere­ka dalam hal-hal yang mereka butuhkan.
Dalam Perlindungan An-Najasyi
Kemudian orang-orang Quraisy ber­pikir untuk mengirim dua orang utusan dan membekali mereka dengan hadiah-hadiah yang dapat mereka bawa untuk An-Najasyi. Kaum Quraisy memilih dua orang yang cerdas di antara mereka. Me­reka ingin merusak hubungan baik antara An-Najasyi dan orang-orang yang hijrah. Pilihan mereka jatuh pada Abdullah bin Abi Rabi‘ah dan Amr bin Al-Ash bin Wail As-Sahmi. Mereka pun mengumpulkan hadiah-hadiah yang akan dibawa kedua­nya untuk An-Najasyi.
Maka bertolaklah mereka di depan mata Nabi Muhammad SAW serta para sahabat dan keluarganya yang tetap tinggal bersama beliau.
Abu Thalib merasa kasihan kepada mereka yang berada di negeri Ha­basyah. Di antara mereka terdapat putranya, Ja‘far bin Abi Thalib, dua anak dari anak-anak perempuannya, Barrah dan Umai­mah, dan Ruqayyah, cucu saudaranya, Abdullah. Ia khawatir akan mereka dari tipu daya Amr dan saha­bat­nya. Maka ia menggubah sebuah syair yang ditujukan kepada Najasyi, meng­harapkan kemu­rah­annya agar berkenan membela umat Islam, yang telah memilih untuk berlin­dung kepadanya.
Hati Sayyidah Fathimah yang bersih juga bergetar karena khawatir akan nasib saudaranya, Ruqayyah, dan suami sau­daranya itu. Ia juga khawatir akan kaum muslimin lainnya yang berada dalam perlindungan An-Najasyi. Ibunya melihat bahwa di wajahnya terdapat kekhawatir­an yang tak diungkapkan oleh lisannya.
Namun Ummu Kultsum dapat mene­nangkannya dan segera mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya Allah akan menolong mereka yang hijrah itu terha­dap `Amr dan sahabatnya. Sesungguh­nya pertolongan Allah itu dekat. Tidak­kah kemarin engkau melihat, wahai Fathimah, kejadian yang menakjubkan dan mulia ketika ayahmu membaca surah An-Najm dan kemudian para pembesar dari me­reka yang kufur dan menentang itu ikut sujud. Bukankah ini pertolongan dari Allah Ta`ala dan pe­tunjuk dari-Nya yang di­sadari oleh hati-hati yang beriman? Se­sungguhnya mereka yang kafir itu se­andainya tidak mau beriman mereka akan hina. Bukan­kah keadaan mereka ini merupakan pe­tunjuk menyerahnya me­reka dan kehina­an mereka? Sesung­guh­nya Allah Ta`ala bersama mereka yang hijrah yang keluar di jalan-Nya. Sekali-kali Allah tidak akan menghinakan me­reka dan sesungguh­nya Allah akan me­nolong orang yang menolong agama-Nya. Dan mereka itu memang meng­ingin­kan pertolongan Allah dan ingin menyam­paikan agama­nya kepada semua yang berada di muka bumi.”
Sikap Rasulullah yang diam juga me­nenangkan Fathimah, karena beliau tidak berkata-kata menurut hawa nafsu­nya dan tidak ada sesuatu melainkan tampak pada wajahnya. Jika ada suatu kebaikan, wajahnya diliputi kegembiraan dan ke­bahagiaan; dan jika ada keburuk­an, wa­jahnya berubah menampakkan apa yang beliau tahan dalam dirinya.
Dua orang utusan kaum Quraisy itu pergi ke Habasyah. Mereka menyerah­kan kepada setiap orang suatu hadiah, ke­mudian mereka menyampaikan ha­diah­nya kepada An-Najasyi. Mereka me­minta An-Najasyi agar mengembalikan kepada mereka orang-orang yang me­ning­galkan agama mereka. Lalu terjadi­lah persaingan antara yang haq dan yang bathil, antara keimanan dan ke­kufuran, an­tara sumber-sumber kebaik­an dan sum­ber-sumber keburukan. Ke­mudian me­nanglah kebaikan, iman, dan kebaik­an, atas kebathilan, kekufuran, dan ke­burukan.
‘Amr dan Abdullah kembali ke kaum Quraisy dengan tangan hampa. Mereka membawa kegagalan dan kehinaan. Maka tahulah kaum Quraisy bagaimana sikap An-Najasyi dan bahwa semua yang ada di tempatnya akan berada dalam per­lindungannya dengan aman, dan bahwa usaha apa saja dari kaum Quraisy agar An-Najasyi mau mengem­balikan kaum muslimin yang hijrah tidak akan berhasil.
Fathimah yakin, kedua utusan itu te­lah kembali dalam keadaan terhina. Ia juga yakin, Allah akan menolong agama ini, baik di Makkah maupun di luar Makkah. Tidak ada kejadian-kejadian yang dialami kaum muslimin melainkan merupakan isyarat-isyarat dari Tuhan se­kalian alam yang membuat hati setiap mukmin menjadi tenang. Itu isyarat yang jelas, tidak ada kesamaran di dalamnya, dan memiliki maksud yang penting yang menguatkan hati orang-orang yang ber­iman.
Setiap kali awan semakin banyak
kilat menyambar
hujan akan turun
dan awal hujan itu adalah rintik-rintik
Jika kesulitan bertambah berat, akan datang cahaya kemudahan. Kesulitan dan kemudahan itu dua hal yang ber­cam­­pur sampai kemudahan dapat mengalah­kan kesulitan. Bagaimana pun beratnya langkah kesulitan, pasti suatu hari kemu­dahan akan dapat mengalah­kannya.
Wallahu a’lam
Sumber: Majalah alKisah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar