Halaman

Selasa, 17 Desember 2013

Habib Naufal bin Muhammad al ‘Aydrus


Habib Novel bin Muhammad al 'Aidrus
Beliau; Habib Naufal bin Muhammad al ‘Aydrus ~ الحبيب نوفل ابن محمّد العيدروس - akrab dipanggil Habib Novel atau Habib Noval - adalah putra pertama pasangan Muhammad al ‘Aydrus dengan Luluk al Habsyi. Ia merupakan alumnus SD dan SMP di Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro Solo. Lulusan SMAN 2 Solo itu kemudian melanjutkan ke Pesantren Darul Lughah wad Dakwah yang terletak di Desa Raci, Pasuruan, Jatim.
“Saya sebenarnya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Saya tidak mendapatkan izin Ibu. Beliau tidak ingin saya pergi jauh darinya. Akhirnya saya berangkat ke Pesantren Darul Lughah wad Dakwah. Pesantren tersebut diasuh oleh almarhum Ustad Hasan Baharun,” terang suami Fatimah Qonita itu.
Ayahanda Ahmad Anis, Nur’aliyah dan ‘Ali ‘Abdul Qadir tersebut mengatakan ibunya hanya mengizinkan dirinya belajar di pesantren tersebut selama enam bulan. Ditambah masa percobaan satu bulan, akhirnya Habib Novel menjadi santri selama 7 bulan.
Sulung dari tiga bersaudara itu sama sekali belum mengenal kehidupan pesantren dan bahasa Arab. Habib Novel pun berusaha untuk mempelajari bahasa Arab dengan sebaik-baiknya. Sebab, almarhum kakeknya, Habib Ahmad bin Abdurrahman al ‘Aydrus yang tinggal di Kudus, pernah berkata, ”Jika kamu mampu menguasai bahasa Arab, maka kamu telah menguasai setengah ilmu.”
“Setiap hari saya paksakan diri saya untuk menghapalkan kurang lebih 90 kata kerja. Di atas tempat tidur, kamus kata kerja hampir tidak pernah berpisah dengan diri saya. Alhamdulillah, dalam waktu dua bulan saya sudah dapat bercakap-cakap dengan bahasa Arab,” jelasnya.
Sepulang dari Pesantren Darul Lughah wad Dakwah, Habib Novel kembali melanjutkan kebiasaannya semasa di Solo yaitu senang pergi ke Masjid Riyadh. Sejak kelas 2 SD dia telah akrab dengan Masjid Riyadh. Dahulu, setiap hari, menjelang maghrib, Habib Novel biasa berjalan kaki menuju Masjid Riyadh untuk Salat Maghrib, mengikuti tadarus al Quran, pembacaan Ratib dan Salat Isya berjamaah. Hal itu dilakukannya bertahun-tahun hingga sebelum ke pesantren. Dia mengaku pembacaan Maulid Simtud Durar setiap malam Jumat adalah ruhnya. Begitu kembali di Solo, Habib Novel segera mengikuti pengajian umum yang diselenggarakan Habib Anis. Setiap hari sejak 1995 hingga beliau wafat dia belajar di sana.
“Habib Anis menyebut saya sebagai muridnya. Bagi saya itu menjadi sebuah kebahagiaan,” tambahnya.
Penulis buku Mana Dalilnya itu merasakan manfaat besar dari mengikuti majelis di Masjid Riyadh. Kini, Habib Novel menjadi penceramah, penterjemah dan penulis. Semua itu tidak terlepas dari peran Habib Anis.
Habib Novel bersyukur Allah memperkenankannya menyampaikan ilmu Nabi Muhammad. Dia berdakwah dari satu masjid ke masjid yang lain, dari satu kantor ke kantor yang lain dan dari satu rumah ke rumah yang lain.
Ke depan Habib Novel ingin ada Aswaja Call Center sebagai tempat bertanya bagi masyarakat tentang berbagai persoalan. Sehingga orang tidak bingung ketika memiliki permasalahan tentang agama. Untuk mendukung itu, perlu ustad yang kompeten dan referensi. Selain itu, jika ada operator nakal supaya segera ditindak.
Keinginan Habib Novel lainnya yaitu adanya sebuah masjid di Jl Slamet Riyadi. Dia sudah menyampaikan kepada Walikota dan tokoh-tokoh sderta orang-orang yang punya uang agar ada masjid di Jl. Slamet Riyadi. “Sungguh sangat disayangkan, di Solo, umat Islam adalah terbesar jumlahnya. Tapi di sepanjang jalan protokol di perkotaan tidak ada masjid. Yang ada masjid sekolahan. Masjid Agung memang sudah ada tapi aksesnya sulit dan keindahannya ditutupi banyak bangunan,” papar lelaki yang pernah menjajakan susu sapi segar dari satu tempat ke tempat lainnya.

Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan


Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan

Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.

Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya masih relatif muda, 31 tahun, namun reputasinya sebagai ulama dan muballig sudah diakui kaum muslimin. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis haul dan Maulid yang digelar di berbagai tempat – seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung, Palembang, Pontianak dan Kalimantan. Hampir semua daerah di negeri ini sudah dirambahnya.Kemampuannya sebagai dai bukan hanya karena dia adalah cucu Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan pejuang dakwah di Betawi tahun 1906-1969. Tapi juga karena sedari kecil dia memang telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius.

Wajah ulama muda yang shalih ini tampak bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya berceramahnya yang enak didengar dan mengalir penuh untaian kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukkan para pendengarnya. Seperti kebanyakan habib, dia pun memelihara jenggot, dibiarkannya terjurai.


Habib Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan Bin Syekh Abubakar, adalah salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Ia juga dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. “Ketika dia menerjemahkan taushiyah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar,” tutur Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf di Jakarta.

Berkah Ulama dan Habaib

Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977. Sejak kecil ia selalu berada di lingkungan majelis ta’lim, yang sarat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama. “Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis ta’lim di Jakarta oleh abah saya, Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa ulama dan habaib yang termasyhur,” kenang bapak lima anak (empat putra, satu putri) ini kepada alKisah. Ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur. Pengalaman masa kecil itu pula yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama.

Ketika ia berumur dua tahun, keluarganya tinggal di Pasar Minggu, bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Pada umur lima tahun, ia dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin Husein Ba'bud dan putranya, Habib Ali bin Muhammad bin Husein Ba’abud, di Kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). “Di Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama di sana, dibilang mengaji, tidak juga. Namun berkah dari tempat itu selama setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang,” ujarnya dengan senyum khasnya  Menginjak umur enam tahun, ia ikut orangtuanya pindah ke Senen Bungur. Ia mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur (Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti.

Kemudian dia melanjutkan ke tingkat tsanawiyah di Madrasah Jami’atul Kheir, Jakarta, hingga tingkat aliyah, tapi tidak tamat. Selama di Jami'at Kheir, banyak guru yang mendidiknya, seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, K.H. Sabillar Rosyad, K.H. Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon Al-Gadri, dan lain-lain.

Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada habaib dan ulama di Jakarta, seperti di Madrasah Tsaqafah Islamiyah, yang diasuh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya, Ustadz Abu Bakar Assegaf. Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senen, Jakarta Pusat) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi, dengan ustadz-ustadz setempat.

Selain itu pada sorenya ia sering mengikuti rauhah yang digelar oleh Majelis Ta’lim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majelis itu, banyak habib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama, seperti Habib Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulachela, Ustadz Hadi Jawwas, dan lain-lain.

Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, ia banyak berjumpa para ulama dari mancanegara, seperti Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, dan masih banyak lainnya.

Pada setiap Ahad pagi, ia hadir di Kwitang bersama abahnya, Habib Novel, yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar 1993, ia bertemu pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Ta’lim Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Ahad pagi. Pertemuan kedua terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jami’at Kheir. Saat itu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar Mulachela dan Ustadz Hadi Assegaf.

Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki Habib Umar adalah kelasnya, padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil mengatakan kepada Habib Umar bahwa dirinya juga bermarga Bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz.

Saat itulah Habib Umar tersenyum sambil memandang Habib Jindan. Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di ruang kelasnya, yang masih terkenang sampai sekarang.

Sejak saat itu hatinya tergerak untuk belajar ke Hadhramaut. Pernah suatu ketika ia akan berangkat ke Hadhramaut, tapi sayang sang pembawa, Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas), meninggal. Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi saudaranya itu sakit. Hingga akhirnya tiba-tiba Habib Abdul Qadir Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan bahwa Habib Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.

Sumber Inspirasi

Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri. Di antaranya Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas, dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadhramaut. “Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim. Kami tinggal di rumah Habib Umar,” tuturnya.

Baru dua minggu di Hadhramaut, pecah perang saudara di Yaman. Memang, situasi perang tidak terasa di lingkungan pondok. Ada perang atau tidak, Habib Umar tetap mengajar murid-muridnya. Namun dampak perang saudara ini dirasakan seluruh penduduk Yaman. Listrik mati, gas minim, bahan makanan langka. “Terpaksa kami masak dengan kayu bakar,” katanya.

Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi. “Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan mengajar. Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar. Beliau memang tak kenal lelah.”

Saat itu Darul Musthafa belum mantap seperti sekarang, situasinya serba terbatas. Walaupun begitu, sangat mengesankan baginya. Dahulu para santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman Habib Umar. Sedangkan pelajaran ta’lim, selain diasuh sendiri oleh Habib Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis ta’lim yang biasa digelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba'alwi, ta’lim di Zawiyah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadhramaut), belajar kitab Ihya di Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti Tarim, diasuh Syaikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal, dan lain-lain.

Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan. “Beliau dalam mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar beliau mengomel atau memaki-maki kami. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar juga terkenal sangat istiqamah dalam hal apa pun.”

Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik santri-santrinya bisa berdakwah. Para santri mendapat pendidikan khusus untuk memberikan taushiyah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh, masing-masing dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Latihan kultum itu juga menjadi ajang saling memberikan masukan antarsantri.

Setelah satu tahun menjadi santri, ada program dakwah tiga hari sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.

Setelah selama kurang lebih empat tahun, tahun 1998, ia pulang ke Indonsia bersama rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa muridnya. Angkatan pertama ini hampir seluruhnya dari Indonesia, hanya dua-tiga orang yang santri setempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih dahulu, untuk mempersiapkan acara dan program kunjungan Habib Umar di Indonesia.

Saat pertama kali pulang, ia, oleh sang abah, diperintahkan untuk berziarah ke para habib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor, dan sekitarnya. Ayahandanya, Habib Novel, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf, dan Habib Anis Al-Habsyi mendorongnya untuk berdakwah.

Masukan, didikan, dan motivasi sang abah ia rasakan hingga sekarang. “Ikhlaslah dalam berdakwah. Apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati,” kata Habib Jindan menirukan abahnya. Habib Novel (alm.) memang dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya, Habib Salim bin Jindan. Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai yang tangguh.

“Kalau ceramah, jangan terlalu panjang. Selagi orang sedang asyik, kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosan, baru berhenti, nanti banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau di situ ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan bagi-bagi waktunya dengan yang lain.” Sampai masalah akhlaq dan sopan santun, semua orang diajarkan. (alkisah)

TAUSIYAH GURU MULIA ALHABIB UMAR BIN HAFIDZ

TAUSIYAH GURU MULIA ALHABIB UMAR BIN HAFIDZ" Acara MR di Monaz Tanpa Hb munzir."

"Sesungguhnya akhir hayat kita Semua tergantung apa yang ada didalam hati kita dan apa yang dilakukan oleh anggota tubuh kita. Kita sudah sering dikumpulkan bersama Habibana Munzir Almusawa sebelum beliau wafat.

Ingatlah bahwa beliau tidaklah meninggal tapi hanya jasad beliau yang wafat sesuai janji Allah kepada Orang-orang yang sholeh. Ingatlah bahwa orang-orang yang berjaya karena dunia mereka akan menyesal akhirat karena telah menyia nyiakan majelis-majelis mulia seperti malam ini, Allah senantiasa menatap apa yang tersembunyi didalam hati dan pikiran kita.

Sungguh nafsu dan syaitan lebih pantas untuk dilanggar daripada melanggar perintah Allah, semoga kita diwafatkan dalam keadaan taat kepada Allah, maka bersungguh sungguhlah dalam munajat kepada Allah, bersihkanlah hati dan pikiranmu agar terhindar dari bujukan musuh-musuh Allah.

Disaat kita mencintai ketaatan dan membenci kemaksiatan maka segala rencana orang-orang yg akan menghancurkan Islam akan musnah dengan sendirinya.

Janganlah kita berdoa hanya untuk diri kita sendiri saja, maka perluaslah kepada saudara-saudara kita karena hal itu disukai Allah SWT. Keberkahan majelis ini akan membuka pintu Hidayah Allah kepada orang-orang yang nantinya akan masuk Islam karena majelis ini. Hanyalah Allah yang mampu membuat apa yang tidak mungkin menjadi mungkin

TAUSHIYAH K.H. MUH. ARIFIN ILHAM SESAAT SEBELUM JASAD HABIBANA MUNZIR BIN FUAD ALMUSAWA DISHALATKAN

TAUSHIYAH K.H. MUH. ARIFIN ILHAM SESAAT SEBELUM JASAD HABIBANA MUNZIR BIN FUAD ALMUSAWA DISHALATKAN

Yaa Nabi Salam ‘Alaika., Ya Rasul Salam ‘Alaaika Yaa habib salam ‘alaika. shalawatullah ‘alaaika Salam alaika yaa Habiballah… Salam alaika ya Rasulallah…. Anta syamsun anta badrun…. anta nuurun faqanuuri…. Anta ikshiru waghaali….Anta misbahussuduuri….

Ahibbahi Rasulullahi Shallallahu’Alaihi wasallam, Ahibbah Habib Almahbub Illah Munzir Almusawa Allah yarham…

Ya Allah hamba bukan menolak takdir-Mu, takdir-Mu adalah takdir-Mu, tapi beri kepada hamba keikhlasan, kesabaran, ketawakkalan, baik sangka, dan kecerdasan menangkap hikmah dari semua takdir-Mu.

Karena semua Allah putuskan dengan Rahmat-Nya , dengan ilmu-Nya, dengan kebijakan-Nya, semua ciptaan, semua kejadian, hatta Allah memanggil kekasih-Nya, Allah putuskan dengan Arrahmah Rahmat-Nya, dengan al-alim ilmunya, dengan
Alhakim hikmah kebijakan-Nya, inilah yang membuat hamba2 yang beriman cerdas menyikapi semua ujian-Nya.

17 Rakaat, dalam 5 waktu. 9 tahiyat, 34 kali sujud , dalam setiap rakaat kita mengucapkan Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin , yang kaya Alhamdulillah, yang miskin Alhamdulillah, yang sehat Alhamdulillah, yang sakit Alhamdulillah, hatta keluarga yang wafat, saat kita shalat mayyit, hatta guru yang kita cintai Allah Yarham dipanggil oleh Allah, kita nanti shalat mayyit, tetap kita baca
Alhamdulillah.

Alhamdulillah..karena semua Lillah, Semua LAHU FISSAMAWAATI WAL ARDH, semua milik-Nya,.

Allah Maha berkehendak ALMUHYIT, Allah titipkan kehendak bagi hamba-Nya ragam kehendak, Allah ALHAYYU ALMUHYI, Maha Hidup. Allah titipkan
kehidupan bagi hamba-Nya, maka setiap helaan nafas dipertanggungjawabkan di hadapan Nya.

Itulah yang membuat Habibana Munzir selalu mengajarkan kita untuk setiap helaan nafas dzikir ALLAH..ALLAH… ALLAH..ALLAH…

Menjadi saksi setiap pembukaan bahwa Beliau selalu disampaikan bahasa kerinduan perjumpaan dengan Allah Jalla Jalaluh. Siapa yang rindu berjumpa dengan Allah, Allah lebih rindu berjumpa dengannya. Karena Allah jawab kerinduan itu, Allah rindu pada Beliau, Allah cinta pada Beliau.

Yaa Nabi Salam ‘Alaika..,Ya Rasul Salam ‘Alaaika Yaa habib salam ‘alaika. shalawatullah ‘alaaika

Setiap kali Arifin berniat menziarahi Beliau, bersilaturrahim, karena takut mengganggu Beliau, selalu lebih dahulu minta izin, dan selalu Beliau jawab, “JANGAN USTAD, BIAR ANA SAJA YANG DATANG KE RUMAH ANTUM, dan Beliau datang.

Beliau datang ke rumah Arifin di Depok. ALLAHU AKBAR WALILLAH ILHAMD, BELIAU SHOHIBUL TAWADHU, HAMBA ALLAH YANG SANGAT TAWADHU, REFLEKSI HIKMAH YANG BELIAU DAPAT, KEKUATAN IMAN DAN KEDALAMAN ILMU HIDUP PADA DIRI BELIAU, AKHLAK RASULULLAH SAW.

Kemudian bulan Syawal, kebiasaan Arifin mengunjungi orang alim, lagi-lagi niat untuk mengunjungi Beliau, khawatir mengganggu Beliau apa jawab Beliau, nanti kita buka puasa bersama di Sentul, biar Habib datang ke rumah Ustad, Kita tunggu-tunggu Ashar, rupanya Beliau beri khabar lagi, Beliau sakit.

ALLAHUAKBAR WALILLAH ILHAMD hamba Allah yang sangat Tawadhu, hamba Allah yang sangat istiqomah, Mengalir kalimat2 hikmah dari lisan Beliau buah dari keikhlasan dan keistiqamahan Beliau dalam ibadah dalam amal shaleh dalam kemilau
akhlak, dalam haraqah dakwah ihwa fillah.

ALLAHU AKBAR WALILLAH ILHAMD karena itu, ORANG-ORANG BERIMAN RINDU BERJUMPA DENGAN ALLAH, TIDAK TAKUT MATI , TIDAK CARI MATI TAPI TIDAK PERNAH MELUPAKAN MATI DAN UNIKNYA ORANG-ORANG YANG BERIMAN ITU MERINDUKAN
MATI, KARENA MATI BUKANLAH WAFAT.

MATI SATU-SATUNYA PINTU BERJUMPA DENGAN ALLAH JALLA JALALU. Ya Nabi salam ‘alaika ya Rasul salam ‘Alaika ya Habib salam ‘Alaika Shalawatullah ‘alaika

Yang terakhir, ketika Arifin menengok Beliau ke Rumah sakit, ke kamar beliau lalu beliau menarik
Arifin ke ranjang beliau kemudian kami berpelukan kemudian kami saling bercanda lalu masuk waktu
Dzuhur.

Lagi-lagi menunjukkan ketawadhuan yang luar biasa, kami tidak mau jadi imam apalagi Arifin sangat tidak pantas, Beliau tidak mau, Beliau mendorong Arifin untuk menjadi imam arifin cium habib, arifin cinta habib, Habib yang pimpin, kemudian shalat dzuhur berjamaah bersama beliau di ruang RSCM di kamar.

Begitu rakaat pertama Beliau masih bisa berdiri. Rakaat kedua beliau duduk lalu Arifin pamit. Sudah
dipintu, Arifin dipanggil lagi oleh Beliau.
Ada kalimat terakhir yang paling indah beliau sampaikan, itulah terakhir Arifin berjumpa dengan
Beliau. “ Ya Ustad ana uhibbuk…” Arifin sampaikan ahabbakumullah…..

SEMOGA ALLAH MENCINTAI ANTUM SEBAGAIMANA ANTUM MENCINTAI ANA.

kita semua ingat sabda Rasul saw yang beliau ajarkan!!!
“SUNGGUH, SUNGGUH, SUNGGUH SESEORANG AKAN DIKUMPULKAN DI AKHIRAT NANTI KEPADA SIAPA YANG IA CINTAI”

ARIFIN TANYA PADA ANTUM SEMUA IKHWA FILLAH…..

APAKAH ANTUM CINTA HABIB MUNZIR??
(CINTA….jawab seluruh jamaah)
APAKAH ANTUM CINTA HABIB MUNZIR??
(..CINTA….jawab seluruh jamaah)
APAKAH ANTUM CINTA HABIB MUNZIR ??
(...CINTA..jawab seluruh jamaah)

ALLAHU AKBAR !!!!
INSYA ALLAH BERSAMA BELIAU KITA DIKUMPULKAN DI AKHIRAT NANTI…(….AAMIIINNN….jawab seluruh jamaah)

BELIAU MENDENGAR… BELIAU MENYAKSIKAN INI.. ANA UHIBBUK YA HABIBABANA ANA UHIBBUKUM YA
HABIBALLAH… WASSALAMU ALAIKUM WR.WB.

HABIB UMAR MENIKAH

Dikisahkan bahwa ketika Habib Umar bin Hafidzh telah berumur 25 tahun serta beliau sudah siap utk
menikah, Sang Guru yaitu Habib Muhammad Alhaddar pun memberikan tawaran kpd Habib Umar utk menikah dg salah satu putrinya. Habib Umar pun disuruh utk memilih salah satu di antara dua putri Sang Guru, pilihan pertama adalah putri beliau yg masih muda dan perawan serta pilihan kedua adalah putri beliau yg sudah berstatus janda. Tanpa pikir panjang beliau pun memilih putri Sang Guru yg sudah janda tsb. Ketika Sang Guru menanyakan apa yg menyebabkannya menentukan pilihan itu, Habib Umar pun menjawab, "Aku ingin ditemani oleh seseorang yg telah memiliki pengalaman di dlm menjalani kehidupan krn suatu saat nanti aku akan membwa beban yg cukup berat (terlihat dr perjuangan dakwah beliau yg mencakup kalangan awam sampai ulama') dan satu lagi yaitu aku ingin mengikuti apa yg dilakukan oleh Kekasihku Muhammad Al-Musthofa SAW".

(Rasulullah SAW ketika menikah berumur 25 tahun dan Syyidah Khodijah r.ha sudah berstatus janda)

Demikianlah sifat Habib Umar bin Hafidzh yg ingin mengikuti apa yg dilakukan oleh Kekasihnya yang mulia Rasulullah SAW. Tidak lain hal ini disebabkan oleh kecintaan beliau yg begitu dalam kpd Nabi Muhammad SAW.

Allahu A'lam bisshowab. Shollallahu 'ala Sayyidina wa Nabiyyina Muhammad Al-Musthofa wa 'ala aalihi wa sohbihi wa sallam taslimaa...